Liverpool
Menjadi pendukung Liverpool memang tidak cukup hanya memiliki satu jantung saja. Selalu dibutuhkan jantung cadangan, jika sewaktu-waktu jantung yang utama berhenti berdetak.
Setelah musim lalu gagal meraih juara hanya dengan selisih satu poin dengan pemuncak klasemen, musim ini (2019/20), Liverpool sempat terancam kembali gagal memboyong pulang trofi Liga Inggris.
Sebelumnya, Liverpool telah mengawali musim dengan apik. Sekian pertandingan tanpa sekali pun menelan kekalahan, membuatnya kokoh bercokol di puncak tanpa tergoyahkan. Permainan yang cantik dan kerja sama tim yang solid, nyaris selalu membuahkan kemenangan di setiap pertandingan. Laku ini sebenarnya tidak begitu mengherankan. Pasalnya, dalam beberapa musim terakhir Liverpool memang sudah menunjukkan kematangannya sebagai tim yang adiluhung. Kalau pun Liverpool gagal menjadi juara, itu hanya karena nasib sial atau kutukan belaka.
Ketangguhan yang Liverpool perlihatkan sejak awal musim tentunya mengundang decak kagum sekaligus cibiran. Seperti kata pepatah kuno: semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin mengembusnya. Hukum ini jelas berlaku dalam segala hal. Termasuk pada kesebelasan asal Merseyside itu.
Ketika pandemi mulai melanda ke seluruh dunia, muncul anekdot, bahwa hanya pandemi lah yang mampu menggagalkan Liverpool untuk menjadi juara. Hal ini kemudian ditafsirkan berbeda. Ada yang menganggap Liverpool terlalu jemawa, sehingga tidak ada tim lawan yang mampu menjegalnya selain kuasa Tuhan. Namun ada juga yang menafsirkan hal tersebut sebagai doa: semoga pandemi melanda Inggris, sehingga liga dibatalkan, dan Liverpool tidak menjadi juara.
Manusia memang kejam. Bagaimana bisa doa seburuk itu terucap demi gagalnya sebuah tim sepak bola dalam meraih trofi. Kita semua tahu, doa sekeji itu hanya bisa terlontar dari mulut setan.
Namun, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, doa setan pun terkabul. Pandemi melanda Inggris. Sejumlah kegiatan dihentikan sementara. Termasuk pertandingan sepak bola.
Nahasnya, hal tersebut terjadi ketika Liverpool hanya membutuhkan dua kemenangan lagi untuk menjadi juara! Situasi tersebut saya ibaratkan seperti ketika kalian mengalami sakit perut yang teramat, dan saat menemukan toilet yang nyaman untuk mengeluarkan unek-unek dalam perut, mendadak rasa tersebut hilang. Rasa nyaman yang sudah dibayangkan akan didapat ketika membuang hajat, mendadak sirna digantikan perasaan dongkol yang mengganjal. Nah! Seperti itu rasanya menjadi pendukung Liverpool saat Liga Inggris dinyatakan vakum.
Para setan pun bersorak. Seperti ketika mereka merayakan diasingkannya Adam dan Eva ke dunia.
Ketika itu, perasaan saya, dan mungkin penggemar Liverpool lainnya, dibuat campur aduk. Di satu sisi saya ingin Liga Inggris kembali bergulir agar Liverpool meraih gelar juara. Namun di sisi lain, perihal keselamatan dan kesehatan atas pandemi pun sama pentingnya.
Tapi nasib berkata lain. Agaknya Liverpool memang harus berbuka puasa yang sudah dilakukan selama tiga dekade belakangan tersebut. Liga Inggris pun kembali bergulir setelah jeda selama beberapa bulan. Harapan untuk dapat melihat Liverpool mengangkat piala kembali terbit. Dan benar saja, tidak membutuhkan waktu lama bagi Liverpool untuk segera memastikan diri sebagai juara. Meninggalkan para seterunya yang masih terseok-seok untuk mengais peringkat yang lebih nyaman.
Tadi malam Liga Inggris berakhir. Jordan Henderson dan kawan-kawan akhirnya mengukuhkan titelnya sebagai juara Liga Inggris. Liverpool menutupnya dengan kemenangan sempurna atas Newcastle. Sekaligus menutupnya dengan menebar kebahagiaan bagi para pendukungnya, dengan tambahan koleksi piala.
Seperti yang telah saya sampaikan pada awal tulisan ini. Mempunyai satu jantung saja tidak cukup untuk menjadi pendukung Liverpool. Perjalanannya kerap diwarnai oleh drama-drama yang tidak perlu. Ditambah harus menebalkan telinga dari nada sumbang para tetangga yang berisik.
Dilan bilang: jadi pendukung Liverpool itu berat. Biar aku saja.
Bogor, 2020
Setelah musim lalu gagal meraih juara hanya dengan selisih satu poin dengan pemuncak klasemen, musim ini (2019/20), Liverpool sempat terancam kembali gagal memboyong pulang trofi Liga Inggris.
Sebelumnya, Liverpool telah mengawali musim dengan apik. Sekian pertandingan tanpa sekali pun menelan kekalahan, membuatnya kokoh bercokol di puncak tanpa tergoyahkan. Permainan yang cantik dan kerja sama tim yang solid, nyaris selalu membuahkan kemenangan di setiap pertandingan. Laku ini sebenarnya tidak begitu mengherankan. Pasalnya, dalam beberapa musim terakhir Liverpool memang sudah menunjukkan kematangannya sebagai tim yang adiluhung. Kalau pun Liverpool gagal menjadi juara, itu hanya karena nasib sial atau kutukan belaka.
Ketangguhan yang Liverpool perlihatkan sejak awal musim tentunya mengundang decak kagum sekaligus cibiran. Seperti kata pepatah kuno: semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin mengembusnya. Hukum ini jelas berlaku dalam segala hal. Termasuk pada kesebelasan asal Merseyside itu.
Ketika pandemi mulai melanda ke seluruh dunia, muncul anekdot, bahwa hanya pandemi lah yang mampu menggagalkan Liverpool untuk menjadi juara. Hal ini kemudian ditafsirkan berbeda. Ada yang menganggap Liverpool terlalu jemawa, sehingga tidak ada tim lawan yang mampu menjegalnya selain kuasa Tuhan. Namun ada juga yang menafsirkan hal tersebut sebagai doa: semoga pandemi melanda Inggris, sehingga liga dibatalkan, dan Liverpool tidak menjadi juara.
Manusia memang kejam. Bagaimana bisa doa seburuk itu terucap demi gagalnya sebuah tim sepak bola dalam meraih trofi. Kita semua tahu, doa sekeji itu hanya bisa terlontar dari mulut setan.
Namun, sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, doa setan pun terkabul. Pandemi melanda Inggris. Sejumlah kegiatan dihentikan sementara. Termasuk pertandingan sepak bola.
Nahasnya, hal tersebut terjadi ketika Liverpool hanya membutuhkan dua kemenangan lagi untuk menjadi juara! Situasi tersebut saya ibaratkan seperti ketika kalian mengalami sakit perut yang teramat, dan saat menemukan toilet yang nyaman untuk mengeluarkan unek-unek dalam perut, mendadak rasa tersebut hilang. Rasa nyaman yang sudah dibayangkan akan didapat ketika membuang hajat, mendadak sirna digantikan perasaan dongkol yang mengganjal. Nah! Seperti itu rasanya menjadi pendukung Liverpool saat Liga Inggris dinyatakan vakum.
Para setan pun bersorak. Seperti ketika mereka merayakan diasingkannya Adam dan Eva ke dunia.
Ketika itu, perasaan saya, dan mungkin penggemar Liverpool lainnya, dibuat campur aduk. Di satu sisi saya ingin Liga Inggris kembali bergulir agar Liverpool meraih gelar juara. Namun di sisi lain, perihal keselamatan dan kesehatan atas pandemi pun sama pentingnya.
Tapi nasib berkata lain. Agaknya Liverpool memang harus berbuka puasa yang sudah dilakukan selama tiga dekade belakangan tersebut. Liga Inggris pun kembali bergulir setelah jeda selama beberapa bulan. Harapan untuk dapat melihat Liverpool mengangkat piala kembali terbit. Dan benar saja, tidak membutuhkan waktu lama bagi Liverpool untuk segera memastikan diri sebagai juara. Meninggalkan para seterunya yang masih terseok-seok untuk mengais peringkat yang lebih nyaman.
Tadi malam Liga Inggris berakhir. Jordan Henderson dan kawan-kawan akhirnya mengukuhkan titelnya sebagai juara Liga Inggris. Liverpool menutupnya dengan kemenangan sempurna atas Newcastle. Sekaligus menutupnya dengan menebar kebahagiaan bagi para pendukungnya, dengan tambahan koleksi piala.
Seperti yang telah saya sampaikan pada awal tulisan ini. Mempunyai satu jantung saja tidak cukup untuk menjadi pendukung Liverpool. Perjalanannya kerap diwarnai oleh drama-drama yang tidak perlu. Ditambah harus menebalkan telinga dari nada sumbang para tetangga yang berisik.
Dilan bilang: jadi pendukung Liverpool itu berat. Biar aku saja.
Bogor, 2020