Sapardi

Pagi itu sebuah kabar cukup mengejutkan mampir melalui WhatsApp saya. Seorang sahabat membawa kabar duka seputar Sapardi Djoko Damono, sastrawan kaliber itu. Saya terpaku sejenak dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sebab sebuah pesan yang diteruskan belum bisa dipastikan kebenarannya. Untuk memastikan kabar tersebut, saya segera membuka kanal berita online. Dan benar saja, Sapardi telah pergi..

Saya cukup terlambat mengenal karya-karya Sapardi. Meski namanya tentu sudah lama saya dengar. Alasannya sederhana, dulu, saya belum begitu tertarik dengan puisi. Sedikit dari penyair yang karyanya saya baca adalah Wiji Thukul dan Chairil Anwar.

Bertahun kemudian kita gairah untuk membaca puisi mampir, barulah saya mulai berkenalan dengan karya-karya Sapardi. Tentunya dimulai dari Hujan di Bulan Juni yang tenar itu. Kesukaan saya terhadap puisi Sapardi tidak terlepas dari peran seorang kawan yang memperkenalkan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh duet Ari Malibu dan Reda Gaudimo.

Sejak saat itu, saya dibuat terpikat oleh kata-kata yang dituangkan Sapardi pada karya-karyanya. Selain Hujan Bulan Juni, sajak indah seperti: Aku Ingin, Hatiku Selembar Daun, Sajak Kecil Tentang Cinta, Yang Fana Adalah Waktu, atau Akulah Si Telaga benar-benar berhasil membuat saya jatuh hati. Ketika masih mahasiswa, puisi-puisi Sapardi lah yang kerap mewakili kisah percintaan saya.

Terkadang, saya mengutip penggalan puisi Sapardi yang dirasa paling romantis untuk diberikan kepada perempuan incaran. Beberapa terpikat dan menilai saya sebagai sosok yang romantis. Tentunya saya tidak pernah membocorkan bahwa kata-kata tersebut saya comot dari puisi Sapardi. Dalam hal ini saya harus meminta maaf kepada Sapardi. Termasuk kepada para perempuan yang saya kibuli.

Selain puisi bertema cinta dan kasih sayang, Sapardi juga kerap menyentil isu sosial dan politik melalui karya-karyanya. Salah satu yang paling popular adalah puisi bertajuk ‘Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996’. Melalui puisi tersebut, Sapardi bersuara mengenai demonstrasi yang kerap terjadi pada tahun-tahun panas tersebut.

Puisi bertema sosial dan politik yang paling berkesan bagi saya tentu ‘Dongeng Marsinah’. Lewat puisi tersebut, Sapardi mengekspresikan pergulatan batin dan kegelisahan dengan cara yang estetik. Ia pula menumpahkan amarahnya terhadap ketidakadilan yang menimpa buruh pabrik yang diculik dan tewas pada 1993 di Sidoarjo tersebut.

Melalui kata-katanya, Sapardi sangat cakap dalam mengolah fenomena menjadi begitu memikat dan menyentuh. Puisinya selalu berhasil mengangkat hal yang sederhana menjadi sangat bermakna. Tidak berlebihan jika Sapardi dianggap sebagai sastrawan yang cukup penting dalam sejarah Indonesia.

Selain puisi, dalam kiprahnya Sapardi menelurkan beberapa novel, kumpulan cerpen, dan karya nonsastra. Khusus novelnya, saya hanya pernah membaca dua saja: Hujan di Bulan Juni, dan Pingkan Melipat Jarak. Dua novel Sapardi tersebut merupakan karyanya di usia senja. Namun dengan berat hati, perlu saya akui, kedua novel yang saya baca tidak semenarik sajak-sajaknya. Jelas ini hanya perkara selera.

Mengenang perkenalan saya dengan karya-karya Sapardi yang cukup panjang di hari kematiannya, membuat rasa sedih mampir tanpa diundang. Saya cukup menyesal pernah menolak ajakan untuk menghadiri acara perayaan 77 tahun Sapardi Djoko Damono pada 2017 silam.

Saya juga jadi menyesal, pernah turut mencibir ketika penyair tersebut berjoget lewat akun TikTok Penerbit GPU. Ketika itu, saya cukup naif untuk menganggap seharusnya seorang sastrawan sebesar dirinya tidak melakukan hal sekonyol itu. Namun belakangan, saya menyadari, bahwa Sapardi hanyalah manusia biasa.

Selamat tidur, Sapardi Djoko Damono. Doa kami kirim dari sini.


Bogor, 2020

Popular posts from this blog

Surat untuk Firda (dan Alka)

Melesat Seperti Roket