Surat untuk Firda (dan Alka)

Dear, Firda yang baik..

Apa kabar? Semoga selalu berbahagia, ya.

Sebelum saya berkata lebih jauh, izinkan saya mengakui sesuatu: saya tidak mahir menulis surat. Bukan hanya tidak mahir, mungkin saya cenderung membencinya. Menulis surat harus selalu bersifat formal dan kaku. Kata per kata pun harus disusun dengan apik. Tidak boleh salah. Khawatir menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman. Sebab, surat yang sudah dikirim, tidak akan dapat ditarik kembali, secanggih apa pun teknologi saat ini. Menulis surat, selalu saya ibaratkan, seperti meniti sebuah tali yang terbentang di antara dua tebing. Sekali jatuh, tidak ada kesempatan untuk kembali ke atas. Berbeda dengan mengarang, yang bisa tercipta hanya dengan satu tarikan napas dan diubah jika ingin.


Namun, terserahlah. Saat ini saya ingin menulis surat. Khusus untukmu dan sedikit untuk anak kita. Untuk mengungkapkan kata-kata yang tak sanggup dituturkan secara lisan.


Firda. Saya akan memulai surat ini dengan sebuah hikayat.


Dalam banyak kepercayaan yang sering kita dengar, manusia berinduk pada dua nama: Adam dan Hawa (atau Eva, atau Eve, atau Lilith, terserah). Hawa, sebagaimana kita ketahui, tercipta dari tulang rusuk Adam. Tuhan menghadiahkan Hawa kepada Adam yang kesepian dan sering termenung seorang diri di Taman Firdaus.


Adam senang bukan main mendapat hadiah yang jelita dari Tuhan. Tidak butuh waktu lama bagi Adam dan Hawa untuk saling melengkapi. Dan singkat cerita, mereka terbujuk oleh rayuan Iblis yang kelewat iseng untuk memakan buah terlarang, yang menjadikan kedua manusia yang sedang kasmaran tersebut diturunkan ke Bumi sebagai hukuman dari Tuhan yang murka (meskipun mestinya Tuhan yang Maha Tahu mengetahui hal tersebut akan terjadi, tetapi tidak mencegahnya).


Andai.. Adam tidak "sebucin" itu kepada Hawa dan memenuhi keinginannya untuk memakan buah terlarang, saat ini kita semua pasti berada di Surga. Tidak perlu memburuh. Tidak perlu memikirkan cicilan KPR. Tidak perlu berurusan dengan orang-orang menyebalkan.


Namun, bukan itu intinya. Yang ingin saya sampaikan adalah, saya tidak begitu yakin bahwa Hawa diciptakan sebagai pelengkap belaka. Sebagai "pendamping" untuk Adam. Seperti yang sering kita dengar.


Maafkan saya, Tuhan.


Tapi, sungguh, saya selalu meyakini sebaliknya: justru Adamlah yang menjadi pelengkap bagi Hawa. Hawa, sebagaimana perempuan lainnya, mengandung kehidupan. Melahirkan kehidupan. Bahkan merawat kehidupan. Tugas yang amat berat. Belum lagi ia berhasil memengaruhi Adam untuk mempersembahkan buah terkutuk itu. Sedangkan Adam, boleh saja ia hanya ongkang-kaki dan merasa jemawa sebagai manusia yang pertama diciptakan. Ia tidak spesial-spesial amat.


Dengan kata lain, Hawa memiliki peran yang lebih vital dibanding Adam. Tuhan menciptakan Hawa karena Dia tidak yakin Adam dapat bertahan hidup lebih lama tanpa kehadiran Hawa. Bisa saja Adam menjadi gila karena kesendiriannya. Sebab, meskipun kita hidup di Surga, kesepian tetap menjadi pembunuh nomor satu bagi umat manusia. Maka, dengan logika seperti itu, Hawa bukanlah sekadar "pelengkap", melainkan penyelamat. Penyelamat kehidupan.


Dan peran menjadi penyelamat itulah yang diturunkan kepada seluruh perempuan di dunia ini, dari berbagai generasi. Termasuk kamu, Firda.


Kamu adalah penyelamat. Setidaknya bagi saya.


Firda. Saya ingin mengajakmu melakukan kilas balik. Melintasi waktu menuju bertahun silam ketika kita masih menjadi dua orang yang saling canggung. Saya lupa kapan tepatnya. Mungkin medio 2016. Mungkin juga saya keliru. Namun, satu yang saya ingat, ketika itu saya mengajakmu untuk melakukan simbiosis mutualisme. Seperti bunga dan kupu-kupu. Seperti bakteri E. coli dan manusia. Seperti Bruce Wayne dan Selina Kyle.


Kamu pun terheran, meski kemudian mengangguk malu-malu (mungkin juga tidak malu-malu, dan saya sedang melakukan hiperbola) pada akhirnya. Intinya, kita sepakat untuk menjalin hubungan serupa bunga dan kupu-kupu itu. Tentunya dengan satu syarat, kamu yang mengajukan, yaitu: kita harus menjalin hubungan yang tidak singkat. Kalau perlu, katamu, sampai salah satu dari kita mati.


Dengan kata lain, sebuah pernikahan.


Ketika itu, saya menganggap syarat yang kamu ajukan terlampau berat. Detik itu juga saya ingin berubah saja menjadi Bandung Bondowoso yang diminta membangun seribu candi dalam waktu semalam oleh Roro Jonggrang. Pernikahan, di dalam kepala saya, adalah sesuatu yang amat rumit, melelahkan, dan cenderung bahaya. Saya tidak pernah menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang menyenangkan dan penuh tawa, seperti menjelajahi taman ria atau melancong ke pantai tersembunyi di sudut Sumbawa.


Namun, entah mengapa, saya menyetujui syarat yang kamu ajukan. Bahkan tanpa ragu-ragu. Entah apa yang saya pikirkan ketika menyetujui syarat tersebut. Mungkin ini yang dirasakan Adam ketika tidak berdaya menghadapi permintaan Hawa untuk memakan buah terlarang.


Sekian tahun berselang setelah hari itu, kami pun semakin saling membutuhkan. Merasa tidak bisa terpisahkan. Dan akhirnya menikah setelah melampaui sekian drama klise yang dialami oleh jutaan calon pengantin.


Firda. Kamu harus tahu. Bahkan setelah menikahimu, anggapan saya terhadap pernikahan yang rumit, melelahkan, juga berbahaya, tidak pudar. Pernikahan yang kita jalani persis permainan roller coaster. Menukik, kemudian kembali menanjak, lalu menukik kembali dengan lebih tajam, menanjak kembali, begitu seterusnya. Namun, ada satu hal yang luput dari anggapan saya terhadap pernikahan selama ini, yaitu: menyenangkan!


Meskipun rumit, melelahkan, dan berbahaya, ternyata menikah denganmu begitu menyenangkan. Sungguh. Kejutan demi kejutan hadir silih-berganti. Dari kejutan yang membuat kita berderai tawa, hingga kejutan yang tidak mampu membendung air mata. Kita bisa berbahagia oleh hal-hal yang sepele, dan seketika menangis bersama oleh hal-hal yang sepele pula. Kita pun pada akhirnya bisa menertawai kebodohan dan bahkan tragedi. Kelamaan, saya jadi kecanduan mendapat kejutan dari pernikahan kita. Sesuatu yang mungkin saja tidak akan saya dapatkan jika menikahi perempuan lain.


Kesenangan dalam pernikahan kita tidak sampai di situ. Sebab kamu bisa menjadi kawan berdebat yang menyebalkan sekaligus mengasyikan. Di lain sisi, kita pun bisa menjadi koloni yang solid dan tak terpatahkan, khususnya dalam menertawakan kebodohan orang-orang. Dan perlu kamu ketahui, Firda. Kamu adalah satu-satunya orang yang mampu mematahkan banyak argumen saya. Kamu mampu membuat saya mati kutu dan menyerah untuk membantah. Sesuatu yang nyaris mustahil mampu dilakukan orang lain kepada saya dalam suatu perdebatan.


Teruntuk kekeraskepalaan dan kebebalan saya, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga persediaan rasa sabarmu tak terbatas.


Dan kejutan demi kejutan yang kita alami, mencapai puncaknya ketika seorang manusia kecil lahir. Siapa lagi jika bukan bocah cantik pecicilan yang jenius: Alka.


Bersamamu dan Alka, saya merasa tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini. Semua sudah lengkap dan sempurna. Saking sempurnanya, saya harus terus memutar otak untuk tidak merusak kesempurnaan yang telah ada. Otak saya yang mungil tidak berhenti berputar untuk mencari cara agar kebahagiaan kalian tidak terinterupsi.


Kemudian untuk Alka.


Ya surat ini juga ditujukan padamu, Al. Surat ini akan menunggu dengan tabah hingga kamu bisa membaca kelak (yang saya yakin tidak lama lagi, mengingat kecerdasanmu di atas rata-rata).


Ketika kamu membaca surat ini, pastilah saya sudah menua. Tidak terlalu tua untuk dikatakan jompo, memang. Namun, lebih tua beberapa tahun ketika surat ini ditulis. Bahkan, mungkin, saya sudah tidak ada di dunia ini.


Nah, ketika kamu sudah bisa membaca surat ini, ingatlah, saya dan ibumu selalu mencintaimu dengan sepenuh hati, tanpa kecuali. Ingatlah bahwa kamu terlahir bukan hanya ketika Tuhan sedang tersenyum, tetapi ketika seluruh alam semesta berserta isinya sedang berbahagia, seolah baru saja memenangi lotre. Ingatlah, kamu adalah anugerah, bukan hanya bagi kami, tetapi bagi seluruh yang bernyawa.


Sepintas, kata-kata saya di atas seolah hanya harapan seorang bapak kepada anaknya. Namun, percayalah, kata-kata saya bukan sekadar nubuat belaka. Saya tahu persis. Sebab saya menjadi salah satu yang mendengar tangis pertamamu yang lantang di pagi hari itu. Tangis lantang yang menantang dunia.


Firda dan Alka.


Pada akhirnya saya harus mengakui, bahwa saya hanyalah lelaki biasa. Lelaki yang begitu rapuh dan pemalu. Lelaki yang bisa patah semangatnya, yang bisa menangis dan terluka. Saya bukan lelaki yang paripurna bagi kalian. Setiap langkah saya pun tidak ayal meninggalkan kebodohan dan sesal, yang mungkin saja membuat kalian berbalik dan membenci saya suatu hari nanti.


Namun, jelas saya tidak ingin hal itu terjadi. Saya telanjur mencintai kalian. Telanjur menjadikan kalian sebagai organ dalam tubuh saya. Telanjur menjadikan kalian sebagai oksigen yang menyokong keberlangsungan hidup saya. Jadi, tolong, izinkan saya belajar menjadi lelaki yang berguna bagi kalian, meski hanya seujung kuku. Izinkan saya menjadi suami dan bapak yang kalian cintai dengan sepenuh hati pula hingga masa yang tak terbatas.


Kalianlah Hawa yang diciptakan untuk menjadi penyelamat bagi saya. Bukan pelengkap apalagi sekadar pendamping. Sebab, jika kalian tidak pernah ada, mungkin saya akan menjelma Adam yang mati perlahan karena kesepian.


Firda dan Alka.


Begitulah akhirnya surat ini saya tulis untuk kalian, dan untuk Firda khususnya: perempuan yang membuat saya percaya bahwa dunia masih baik-baik saja.


Maafkan saya yang tidak pandai dalam urusan menulis surat. Rasanya saya terlalu banyak meminta maaf dalam surat ini. Maka biarkanlah saya mengucap juga terima kasih bagi kalian, karena telah ada, dan sudi direpotkan oleh saya.


Sebagai penutup, saya akan mengutipkan penggalan lagu John Lennon yang berjudul "Woman":


Woman, I know you understand

The little child inside the man

Please remember my life is in your hands..

I love you, now and forever.


Salam Hangat,

Adia Puja



Madiun, Maret 2022

Popular posts from this blog

Sapardi

Melesat Seperti Roket