Kaset
Belakangan saya sedang keranjingan bernostalgia dengan musik hair metal, seperti Skid Row, Motley Crue, Warrant, White Lion, dan sebagainya. Kebiasaan mendengarkan musik hair metal sudah saya lakukan sejak masih berseragam SMA hingga awal menjadi mahasiswa. Selanjutnya telinga saya lebih akrab dengan lagu-lagu yang cukup “lunak”, seperti band-band pop atau rock Inggris.
Saya jadi teringat beberapa tahun lalu, saya membeli album Theatre of Pain-nya Motley Crue, hanya demi mendengarkan Home Sweet Home, dan album Skid Row untuk lagu I Remember You. Kedua album tersebut tentunya saya beli di penjual kaset bekas di Jalan Dewi Sartika, Bandung. Saya menyebutnya sebagai “parapatan sagala aya”, atau perempatan serba ada.
Biasanya, sehabis membeli buku-buku bekas di jalan yang sama, saya menyeberang ke deretan penjual kaset bekas. Baik di deretan penjual buku bekas atau kaset bekas, saya bisa menghabiskan waktu berjam lamanya.
Khusus di bagian penjual kaset bekas, saya biasanya menghabiskan waktu lebih lama. Sebab, pengetahuan saya soal musik tidak begitu dalam. Biasanya saya hanya melihat-lihat kaset dari band atau penyanyi yang saya ketahui saja. Atau ketika waktu luang saya cukup banyak, saya akan membuka satu-persatu kaset tersebut. Melihat judul-judul lagunya, berharap ada satu saja yang saya kenal. Jika tidak, saya akan membeli saja secara acak. Biasanya pilihan saya jatuh pada kaset dengan desain sampul yang menarik atau memiliki nama yang keren.
Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak SMA. Sekolah saya, dulu, tidak jauh dari Jalan Dewi Sartika. Jika ada uang lebih, saya akan berangkat ke sana. Membeli buku bekas atau kaset yang juga bekas.
Jika ingin lebih gaya, saya akan membeli kaset di Aquarius. Dulu toko kaset ini terletak di Jalan Dago. Namun sejak 2009, toko tersebut telah tutup. Saya masih ingat, kaset yang terakhir saya beli di Aquarius, sekaligus kaset terakhir yang saya beli adalah album Blur: The Best Of. Dan hingga kini kaset tersebut masih awet, meski entah berapa kali saya putar.
Jika kaset terakhir saya adalah Blur, maka kaset pertama saya adalah The Beatles. Pertemuan dengan The Beatles dimulai saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, seorang sepupu menyodorkan dua buah kaset untuk saya pilih, dan boleh saya miliki, sebagai hadiah bagi saya yang baru saja dibelikan walkman.
Kedua kaset yang disodorkan oleh sepupu saya bersampul hitam, dan nama keduanya asing bagi saya: The Beatles dan Metallica. Kala itu pilihannya tidak sulit, toh keduanya tidak saya kenal. Saya asal tunjuk saja pada album The Beatles Past Masters Volume 1. Dan kaset Metallica album Load kembali menghuni laci kaset milik sepupu saya. Belakangan, saya ketahui kedua band tersebut adalah legenda dalam dunia permusikan. Entah mana yang lebih baik, setiap orang pasti memiliki pendapat masing-masing yang memicu perdebatan, namun jika saat itu saya tidak memilih kaset The Beatles, mungkin selera musik saya tidak akan sama dengan sekarang.
Kembali ke masa kini, saat mendengarkan musik nyaris tidak membutuhkan usaha lebih. Ada Spotify, YouTube, Joox, atau layanan musik online lainnya. Mendengarkan lagu hanya modal sekali sentuh saja. Lagunya pun bebas kita pilih. Berbeda dengan dulu. Untuk mendengarkan satu lagu saja, kita harus “terpaksa” mendengarkan lagu lainnya. Meski harus diakui, dengan “keterpaksaan” tersebut, khazanah musik saya jadi bertambah. Jika saya ingin mendengarkan She Loves You, maka saya harus mendengarkan juga From Me to You atau Love Me Do.
Musisi belakangan pun menjadi jarang membuat album. Mereka kerap mengeluarkan single dan lempar ke internet, maka semua orang mendengarkan. Jika responsnya bagus, mereka akan mengeluarkan single selanjutnya. Tidak perlu repot-repot membuat sekian lagu untuk dialbumkan, atau memikirkan konsep album yang katanya sangat sakral itu.
Saya tidak tahu harus merasa beruntung atau tidak dengan berbagai kemudahan mendengarkan musik di zaman sekarang. Satu sisi, saya bebas memilih mendengarkan musik apapun, dari penyanyi manapun, atau band dari negara manapun. Saya pun tidak perlu mengeluarkan uang lebih hanya untuk mendengarkan satu-dua lagu dari band tertentu.
Tapi, di lain sisi, saya terkadang rindu dengan kebiasaan mendengarkan musik zaman dahulu ketika teknologi tidak seheboh sekarang. Berjongkok lama-lama hingga kaki kesemutan demi membeli kaset dari band yang bahkan tidak saya ketahui jenis musiknya, itu sangat menyenangkan. Atau mendengarkan lagu sambil membaca liriknya di balik sampul kaset dan memandang lekat-lekat artwork yang digunakan di album tersebut, memiliki sebuah kepuasan tersendiri.
Karena saya selalu meyakini, sebuah album musik adalah seni yang tak ternilai harganya, dan memiliki kisah perjalanannya sendiri-sendiri. Persis sebuah buku.
Bogor, Agustus 2020
Saya jadi teringat beberapa tahun lalu, saya membeli album Theatre of Pain-nya Motley Crue, hanya demi mendengarkan Home Sweet Home, dan album Skid Row untuk lagu I Remember You. Kedua album tersebut tentunya saya beli di penjual kaset bekas di Jalan Dewi Sartika, Bandung. Saya menyebutnya sebagai “parapatan sagala aya”, atau perempatan serba ada.
Biasanya, sehabis membeli buku-buku bekas di jalan yang sama, saya menyeberang ke deretan penjual kaset bekas. Baik di deretan penjual buku bekas atau kaset bekas, saya bisa menghabiskan waktu berjam lamanya.
Khusus di bagian penjual kaset bekas, saya biasanya menghabiskan waktu lebih lama. Sebab, pengetahuan saya soal musik tidak begitu dalam. Biasanya saya hanya melihat-lihat kaset dari band atau penyanyi yang saya ketahui saja. Atau ketika waktu luang saya cukup banyak, saya akan membuka satu-persatu kaset tersebut. Melihat judul-judul lagunya, berharap ada satu saja yang saya kenal. Jika tidak, saya akan membeli saja secara acak. Biasanya pilihan saya jatuh pada kaset dengan desain sampul yang menarik atau memiliki nama yang keren.
Kebiasaan ini sudah saya lakukan sejak SMA. Sekolah saya, dulu, tidak jauh dari Jalan Dewi Sartika. Jika ada uang lebih, saya akan berangkat ke sana. Membeli buku bekas atau kaset yang juga bekas.
Jika ingin lebih gaya, saya akan membeli kaset di Aquarius. Dulu toko kaset ini terletak di Jalan Dago. Namun sejak 2009, toko tersebut telah tutup. Saya masih ingat, kaset yang terakhir saya beli di Aquarius, sekaligus kaset terakhir yang saya beli adalah album Blur: The Best Of. Dan hingga kini kaset tersebut masih awet, meski entah berapa kali saya putar.
Jika kaset terakhir saya adalah Blur, maka kaset pertama saya adalah The Beatles. Pertemuan dengan The Beatles dimulai saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu, seorang sepupu menyodorkan dua buah kaset untuk saya pilih, dan boleh saya miliki, sebagai hadiah bagi saya yang baru saja dibelikan walkman.
Kedua kaset yang disodorkan oleh sepupu saya bersampul hitam, dan nama keduanya asing bagi saya: The Beatles dan Metallica. Kala itu pilihannya tidak sulit, toh keduanya tidak saya kenal. Saya asal tunjuk saja pada album The Beatles Past Masters Volume 1. Dan kaset Metallica album Load kembali menghuni laci kaset milik sepupu saya. Belakangan, saya ketahui kedua band tersebut adalah legenda dalam dunia permusikan. Entah mana yang lebih baik, setiap orang pasti memiliki pendapat masing-masing yang memicu perdebatan, namun jika saat itu saya tidak memilih kaset The Beatles, mungkin selera musik saya tidak akan sama dengan sekarang.
Kembali ke masa kini, saat mendengarkan musik nyaris tidak membutuhkan usaha lebih. Ada Spotify, YouTube, Joox, atau layanan musik online lainnya. Mendengarkan lagu hanya modal sekali sentuh saja. Lagunya pun bebas kita pilih. Berbeda dengan dulu. Untuk mendengarkan satu lagu saja, kita harus “terpaksa” mendengarkan lagu lainnya. Meski harus diakui, dengan “keterpaksaan” tersebut, khazanah musik saya jadi bertambah. Jika saya ingin mendengarkan She Loves You, maka saya harus mendengarkan juga From Me to You atau Love Me Do.
Musisi belakangan pun menjadi jarang membuat album. Mereka kerap mengeluarkan single dan lempar ke internet, maka semua orang mendengarkan. Jika responsnya bagus, mereka akan mengeluarkan single selanjutnya. Tidak perlu repot-repot membuat sekian lagu untuk dialbumkan, atau memikirkan konsep album yang katanya sangat sakral itu.
Saya tidak tahu harus merasa beruntung atau tidak dengan berbagai kemudahan mendengarkan musik di zaman sekarang. Satu sisi, saya bebas memilih mendengarkan musik apapun, dari penyanyi manapun, atau band dari negara manapun. Saya pun tidak perlu mengeluarkan uang lebih hanya untuk mendengarkan satu-dua lagu dari band tertentu.
Tapi, di lain sisi, saya terkadang rindu dengan kebiasaan mendengarkan musik zaman dahulu ketika teknologi tidak seheboh sekarang. Berjongkok lama-lama hingga kaki kesemutan demi membeli kaset dari band yang bahkan tidak saya ketahui jenis musiknya, itu sangat menyenangkan. Atau mendengarkan lagu sambil membaca liriknya di balik sampul kaset dan memandang lekat-lekat artwork yang digunakan di album tersebut, memiliki sebuah kepuasan tersendiri.
Karena saya selalu meyakini, sebuah album musik adalah seni yang tak ternilai harganya, dan memiliki kisah perjalanannya sendiri-sendiri. Persis sebuah buku.
Bogor, Agustus 2020