Film
Belakangan, saya sedang keranjingan menonton film serial melalui situs film berbayar, Netflix. Setelah menamatkan Breaking Bad, yang agak terlambat saya tonton, kini saya tengah mengikuti film serial bertajuk Dark dan serial dokumenter Unsolved Mysteries.
Semenjak maraknya situs film berbayar, kini menonton film nyaris tidak membutuhkan perjuangan yang berarti. Beberapa tahun lalu, saya masih harus mengunduh film-film gratisan (terkadang bajakan) jika ingin menonton film tertentu. Selain proses mengunduh yang memakan kuota internet dan menyita banyak waktu, rasa bersalah atas mengunduh film bajakan pun kerap menghantui.
Mundur sedikit jauh ke belakang, bahkan, ketika internet tidak semarak sekarang, menonton film hanya bisa dilakukan jika memiliki kepingan VCD atau DVD, sekaligus alat pemutarnya dan tentu sekotak televisi. Saya ingat ketika mulai keranjingan menonton film. Pada hari-hari tertentu saya selalu mengunjungi Kota Kembang di daerah Alun-Alun Bandung. Sebuah pusat VCD dan DVD bajakan terbesar di Bandung.
Kala itu, satu keping DVD bajakan dihargai Rp5.000. Sebuah harga yang cukup murah bagi ukuran saya ketimbang harus merogoh kocek untuk tiket masuk bioskop. Sekali berbelanja ke Kota Kembang, saya bisa pulang dengan mengantongi lima hingga sepuluh judul film. Dari sebanyak itu, saya masih harus dilanda kecemasan sebab ada kemungkinan beberapa di antaranya memiliki kualitas yang buruk, atau memiliki teks terjemahan yang tidak sinkron. Hal menyebalkan seperti itu selalu saya anggap sebagai nasib sial, atau penebus dosa karena turut melestarikan budaya pembajakan.
Berbicara soal film, tentu tidak lepas dari bioskop. Saya termasuk jarang menonton ke bioskop. Alasannya ada dua: uang dan waktu.
Tapi, ingatan saya masih cukup baik tentang pengalaman pertama menonton film di bioskop. Film pertama yang saya saksikan di bioskop adalah Jurassic Park (1993). Ketika itu usia saya baru saja menginjak empat atau lima tahun, dan sangat tergila dengan hal bertemakan dinosaurus. Bersama kakak, mama, dan papa, kami menonton film besutan Steven Spielberg itu di bioskop Kiara 21, di daerah Kiaracondong. Salah satu gedung bioskop modern pertama di kota Bandung. Bioskop tersebut telah tutup sekitar tahun 1998. Termutakhir lahan bekas gedung bioskop Kiara 21 menjadi sengketa dan digugat ke PTUN Bandung.
Bagi anak sekecil itu, menonton bioskop untuk kali pertama adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Termasuk ketakutan imajiner saya tentang dinosaurus yang masih hidup di suatu tempat. Meski begitu, saya tetap menikmati seluruh ceritanya dan mengucap banyak terima kasih kepada mama dan papa yang mengajak saya menonton bioskop untuk kali pertama. Jika bukan karena momen tersebut, mungkin saja saya tidak keranjingan menonton film seperti sekarang.
Setelah pengalaman perdana, menonton ke bioskop menjadi hal yang cukup lumrah. Bersama mama dan kakak, berturut-turut kami menyaksikan film-film di bioskop: Inspector Gadget, Petualangan Sherina, hingga Star Wars: Episode I. Menonton film di bioskop pada zaman itu tidak terlepas dari berbagai perjuangan. Salah satunya adalah perihal mengantre tiket. Saya ingat, ketika film Petualangan Sherina meledak di era awal 2000-an, kami harus berkali-kali mengantre tiket karena kehabisan. Atau ketika saya harus bolos sekolah demi mendapatkan selembar tiket film Harry Potter.
Mengenang masa lampau itu membuat kepala saya dipenuhi nostalgia. Kini, menonton film hanya butuh satu ketukan pada ponsel atau laptop, dan bisa dilakukan sembarang waktu dan tempat. Pilihan film-nya pun beragam dan tidak terhingga. Saya sampai pusing sendiri harus menetukan film mana yang ingin ditonton. Dan tentunya, semua itu dilakukan secara legal.
Nanti, setelah anak saya cukup besar untuk mengerti film, saya bertekad ingin segera membawanya ke bioskop. Rasa takjub yang saya rasakan ketika kali pertama menonton di bioskop, harus juga dirasakan oleh anak saya. Tentunya saya akan mengajaknya menonton film-film yang sesuai usianya. Bukan menonton film sejenis Jurassic Park yang penuh dengan adegan mengerikan.
Bogor, 2020
Semenjak maraknya situs film berbayar, kini menonton film nyaris tidak membutuhkan perjuangan yang berarti. Beberapa tahun lalu, saya masih harus mengunduh film-film gratisan (terkadang bajakan) jika ingin menonton film tertentu. Selain proses mengunduh yang memakan kuota internet dan menyita banyak waktu, rasa bersalah atas mengunduh film bajakan pun kerap menghantui.
Mundur sedikit jauh ke belakang, bahkan, ketika internet tidak semarak sekarang, menonton film hanya bisa dilakukan jika memiliki kepingan VCD atau DVD, sekaligus alat pemutarnya dan tentu sekotak televisi. Saya ingat ketika mulai keranjingan menonton film. Pada hari-hari tertentu saya selalu mengunjungi Kota Kembang di daerah Alun-Alun Bandung. Sebuah pusat VCD dan DVD bajakan terbesar di Bandung.
Kala itu, satu keping DVD bajakan dihargai Rp5.000. Sebuah harga yang cukup murah bagi ukuran saya ketimbang harus merogoh kocek untuk tiket masuk bioskop. Sekali berbelanja ke Kota Kembang, saya bisa pulang dengan mengantongi lima hingga sepuluh judul film. Dari sebanyak itu, saya masih harus dilanda kecemasan sebab ada kemungkinan beberapa di antaranya memiliki kualitas yang buruk, atau memiliki teks terjemahan yang tidak sinkron. Hal menyebalkan seperti itu selalu saya anggap sebagai nasib sial, atau penebus dosa karena turut melestarikan budaya pembajakan.
Berbicara soal film, tentu tidak lepas dari bioskop. Saya termasuk jarang menonton ke bioskop. Alasannya ada dua: uang dan waktu.
Tapi, ingatan saya masih cukup baik tentang pengalaman pertama menonton film di bioskop. Film pertama yang saya saksikan di bioskop adalah Jurassic Park (1993). Ketika itu usia saya baru saja menginjak empat atau lima tahun, dan sangat tergila dengan hal bertemakan dinosaurus. Bersama kakak, mama, dan papa, kami menonton film besutan Steven Spielberg itu di bioskop Kiara 21, di daerah Kiaracondong. Salah satu gedung bioskop modern pertama di kota Bandung. Bioskop tersebut telah tutup sekitar tahun 1998. Termutakhir lahan bekas gedung bioskop Kiara 21 menjadi sengketa dan digugat ke PTUN Bandung.
Bagi anak sekecil itu, menonton bioskop untuk kali pertama adalah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Termasuk ketakutan imajiner saya tentang dinosaurus yang masih hidup di suatu tempat. Meski begitu, saya tetap menikmati seluruh ceritanya dan mengucap banyak terima kasih kepada mama dan papa yang mengajak saya menonton bioskop untuk kali pertama. Jika bukan karena momen tersebut, mungkin saja saya tidak keranjingan menonton film seperti sekarang.
Setelah pengalaman perdana, menonton ke bioskop menjadi hal yang cukup lumrah. Bersama mama dan kakak, berturut-turut kami menyaksikan film-film di bioskop: Inspector Gadget, Petualangan Sherina, hingga Star Wars: Episode I. Menonton film di bioskop pada zaman itu tidak terlepas dari berbagai perjuangan. Salah satunya adalah perihal mengantre tiket. Saya ingat, ketika film Petualangan Sherina meledak di era awal 2000-an, kami harus berkali-kali mengantre tiket karena kehabisan. Atau ketika saya harus bolos sekolah demi mendapatkan selembar tiket film Harry Potter.
Mengenang masa lampau itu membuat kepala saya dipenuhi nostalgia. Kini, menonton film hanya butuh satu ketukan pada ponsel atau laptop, dan bisa dilakukan sembarang waktu dan tempat. Pilihan film-nya pun beragam dan tidak terhingga. Saya sampai pusing sendiri harus menetukan film mana yang ingin ditonton. Dan tentunya, semua itu dilakukan secara legal.
Nanti, setelah anak saya cukup besar untuk mengerti film, saya bertekad ingin segera membawanya ke bioskop. Rasa takjub yang saya rasakan ketika kali pertama menonton di bioskop, harus juga dirasakan oleh anak saya. Tentunya saya akan mengajaknya menonton film-film yang sesuai usianya. Bukan menonton film sejenis Jurassic Park yang penuh dengan adegan mengerikan.
Bogor, 2020