Yang Lebih Merdu dari The Beatles
Tidak ada malam yang lebih melelahkan dan menegangkan ketimbang malam itu. Malam menuju 15 Juli. Bulan bertengger gagah di puncaknya. Gemintang berkedip genit menggoda penghuni kolong langit. Langit malam di Bandung selalu menggairahkan. Meski begitu, udara malam itu sangat dingin. Angin berembus dengan kejam dan tanpa ampun.
Di ruang bersalin, ibumu sedang mengerang menahan sakit. Suaranya memecah keheningan ruang bersalin yang begitu lengang malam itu. Hanya ada satu pasien lain di bilik sebelah. Erangan demi rintihan tidak putus meluncur dari mulut ibumu.
Hati siapa tak hancur mendengar rintihan yang demikian pilu? Aku tak bisa membayangkan rasa sakit yang tengah dialami ibumu.
Ibumu seorang perempuan tangguh. Paling tangguh kedua yang kukenal, setelah nenekmu. Setiap air mata yang mengalir membasahi pipi ibumu bukan karena dirinya lemah. Tapi justru karena dirinya kuat. Aku selalu percaya, seorang yang kuat adalah bukan mereka yang paling mahir menahan tangis. Tapi mereka yang sudi menangis untuk mengekspresikan keresahannya.
Ibumu menangis, nak. Tak henti-henti sejak pukul 23 hingga matahari nyaris tiba. Banyak doa yang terbang malam itu. Doa untukmu, nak. Di antara erangan dan rintihannya, ibumu tetap tidak melupakan doa bagi keselamatanmu. Ya, keselamatanmu.
Sementara aku hanya bisa tepekur di sampingnya sambil berkali-kali mengucapkan kata-kata klise yang tidak ada artinya. Andai rasa sakit itu bisa dibagi.
Ayam jantan pertama sudah terjaga dari tidur nyenyaknya. Para bidan hilir-mudik memasuki ruang bersalin. Alat-alat besar dinyalakan, yang fungsinya tidak kuketahui apa. Tidak ada ketegangan pada wajah para bidan. Sangat kontras dengan tangisan ibumu yang semakin menjadi. Begitu pula diriku. Yang semakin tidak bisa menguasai diri dari kepanikan yang melanda.
Detik demi detik berjalan dengan sangat lambat. Seolah Sang Waktu tidak berada di pihak kita. Matahari nyaris bulat sempurna. Ibumu mulai kehabisan tenaga. Di titik itu, aku semakin mencintai ibumu. Perjuangan yang ia lakukan sungguh luar biasa. Benar kata orang, proses bersalin adalah antara hidup dan mati. Aku telah membuktikannya.
Butuh waktu cukup lama bagimu untuk akhirnya melihat dunia. Sungguh proses yang panjang dan melelahkan. Aku tidak tahu seberapa nyaman rahim ibumu, sehingga kamu tidak sudi untuk meninggalkannya lekas-lekas.
Melihatmu meluncur dari bawah sana, hatiku mencelos. Kau begitu cantik meski masih lebih menyerupai gumpalan daging yang berlumuran darah. Detik itu pula tangismu pecah. Membahana ke seluruh penjuru ruang bersalin. Begitu nyaring. Seolah membangunkan malaikat-malaikat yang masih tertidur, dan memaksa mereka untuk tersenyum menyambut kelahiranmu.
Satu hal. Ketika detik tangis pertamamu mengudara. Aku menjadi tahu, ternyata ada yang lebih merdu dari The Beatles.
Selamat datang, Kavindra Alka Pradana.
Bandung, 15 Juli 2019