Atom
Beberapa bulan lagi saya akan memasuki babak hidup yang
baru: menjadi seorang bapak. Sebuah babak hidup yang tidak pernah saya duga dan
antisipasi sepanjang kiprah saya sebagai manusia. Semua ini terjadi secara
spontan dan tanpa aba-aba.
Ada perasaan gelisah sekaligus bersemangat melihat perut
istri saya yang semakin membuncit. Tidak sedikit juga terselip rasa khawatir.
Khawatir akan banyak hal. Termasuk serba ketidakjelasan dunia yang akan
dijalani anak saya kelak.
Tapi segala bentuk kecamuk dalam diri saya selalu berhasil
terobati ketika melihat perut istri saya bergetar. Tanda bayi di dalamnya
tengah bergerak. Semakin bertambah hari, gerakan tersebut semakin kuat dan
liar, entah apa yang tengah ia perbuat di dalam sana.
Setiap perut istri saya bergetar, dan kebetulan tengah ada
di dekatnya, saya selalu ingin menyentuhnya. Merasakan tinjuan bayi di
dalamnya. Meski terpisah oleh kulit perut istri saya, hantaman tinju kecil itu
terasa nyata di telapak tangan saya. Setiap melakukan itu, saya berkhayal tengah
melakukan toas dengan bayi mungil itu.
Jika sudah seperti itu, maka keinginan saya untuk segera
bertemu dengannya sangat besar.
Terkadang saya merasa bayi itu sangat jauh dan tidak
terjangkau. Padahal, kami hanya terpisahkan oleh beberapa sentimeter lapisan
kulit dan daging saja.
Penantian berbulan-bulan ini terasa sangat lama dan
menyiksa. Saya benci menunggu.
Tapi, nak, kamu perlu tahu. Menantimu adalah kesabaran
terbesar sepanjang hidup saya. Sejauh ini, hanya kamu yang berhasil membuat
saya bersabar selama ini.
Selagi menanti kelahiranmu, saya akan sangat bergembira
menerima tinjuan-tinjuan kecil dari balik perut ibumu.
Tinjuan dari jari-jari mungil yang terasa sangat dahsyat. Persis bom atom.
Tinjuan dari jari-jari mungil yang terasa sangat dahsyat. Persis bom atom.
Jakarta, Mei 2019