You’re Just too Good to be True
Setali tiga uang dengan keberadaan Loch Ness dan pembunuh John F. Keneddy, jodoh merupakan misteri bagi kebanyakan orang. Ya, bagi kebanyakan orang. Artinya, ada segelintir orang yang menganggap jodoh bukanlah sebuah misteri. Aku salah satunya.
Aku tidak pernah menganggap bahwa jodoh sebagai sebuah misteri. Setidaknya setelah bertemu denganmu. Aku memang bukan Hercule Poirot atau Nostradamus, tetapi aku terlahir dengan sedikit intuisi ala Sherlock Holmes. Dan beruntunglah, intuisi tersebut bekerja ketika pertama kali melihatmu.
Ketika itu, di sebuah ruang kontrol stasiun televisi yang berinisial C-N-N, aku pertama kali menemukanmu. Atau kamu yang menemukanku? Entahlah. Jemarimu tengah sibuk memutar prompter. Sambil panik ketika teksnya terlalu lambat dan raungan produser terdengar dari meja belakang. Panik ciri khas-mu, yang sangat kuhapal setelah menghabiskan sekian musim bersamamu. Aku tertawa. Kamu tidak. Masih panik.
Aku tidak mudah jatuh cinta. Sama sekali tidak. Namun aku selalu jadi juara dalam melihat kecantikan seorang perempuan. Aku kembali menyabet gelar juara saat kali pertama pandangan kita beradu. Kamu cantik. Sungguh. Aku tidak pandai berbohong.
Aku masih ingat betul komentar lancangku terkait putih dan halusnya kulitmu. Aku masih ingat betul warna cat kuku yang sempat kaugunakan, pembungkus ponsel motif Minnie Mouse yang norak, cincin mainan bergambar jamur Mario Bros, gincu merah pada bibirmu, kacamatamu yang besar, termasuk senyumanmu yang lebih manis dari janji politikus sekalipun.
Setelah hari itu, diam-diam aku memerhatikanmu. Sebagai salah seorang perempuan cantik yang pernah mampir di kornea mataku.
Aku yang terlahir tanpa anugerah kepekaan yang kuat melewatkan banyak semiotikasi pada wajahmu. Aku melewatkan sinyal-sinyal itu. Sinyal yang terpancar setiap kali kita duduk bersebelahan di ruang kontrol. Sinyal yang terpancar ketika kita membahas perihal sosial media-mu, bahkan melewatkan suara renyahmu ketika menyapaku setiap kali kita berpapasan.
Aku melewatkan itu semua. Kecuali getaran kecil pada arteri setiap kali pandangan kita bergelut. Ketika itu, aku tahu, rumput yang bergoyang tahu; bahwa suatu hari kamu bukan hanya seorang perempuan cantik yang hanya numpang lewat di hidupku.
Semua terjawab ketika alam semesta berkolaborasi dengan sesuatu yang disebut Tuhan. Ketika bumi sibuk berotasi, angin sibuk berembus, gemintang sibuk bersolek, lautan sibuk mengamuk, jutaan orang sibuk mengarungi kemacetan, ribuan bayi lahir sekaligus ribuan nyawa melayang, layar-layar di ruang kontrol memancarkan cahaya, jemari para operator menari di atas tombol, aku mendapat sebuah kabar; kamu menaruh hati padaku. Setidaknya begitu yang disampaikan kawanku ketika itu.
Semua berawal dari senja itu. Senja yang biasa saja, tanpa hujan yang romantis, atau lembayung yang meneduhkan. Biasa saja. Yang tidak biasa hanya kamu. Dan sejarah yang kelak akan kita rajut.
Karena sejak detik itu, kamu tidak pernah alpa dari kepalaku. Hingga kini. Hingga sebuah benda berkilauan tersemat di jari manismu. Perwujudan kata-kata yang selama ini tidak mampu kumuntahkan. Bahwa aku tidak ingin kehilangan dirimu.
Kutegaskan sekali lagi. Bagiku, jodoh bukanlah misteri. Karena ketika detik pertama kita berjumpa di musim penghujan itu, ada orkestra kecil di dalam kepalaku yang mengalun syahdu, dan menyanyikan: You're just too good to be true.. Can't take my eyes off you.. Tara tara tararara ra ra raaaa....
Jakarta, Oktober 2017