Bukan Monolog, karena Aku Bertanya

Aku tidak paham cinta. Jadi, jangan pernah tanyakan itu. Aku bersamamu karena suatu alasan. Alasan yang tidak akan pernah kita temukan jawabnya. Anggap saja, ada temali kasat mata yang mengatur laku kita. Digerakkan oleh sesuatu yang kasat pula. Sebuah kekuatan besar yang otoriter sehingga kita tidak berdaya untuk melawan. Mungkin juga akibat turut campur tangan alam semesta. Mempertemukan kita. Kemudian mengharuskan kita untuk bersama. Sesederhana itu. Anggap saja begitu.

Aku bukan Rama yang rela melawan raja Alengka bernama Rahwana untuk mengais hati Sinta. Aku juga tidak seperti Arjuna yang membuat Drupadi menjadi setengah sinting karena cinta. Aku juga bukan sejoli rekaan Shakespeare yang rela mati demi bersama. Aku juga bukan Paris yang rela mati untuk Helena. Aku juga bukan Lancelot yang memendam cinta pada Guinevere hingga kematian menjemputnya. Tidak.

Aku seperti lelaki kebanyakan; mempunyai kisah cinta biasa di masa lalu. Yang indah atau getir. Itu tidak jadi soal. Tidak perlu juga kamu persoalkan. Yang pasti, aku tidak kuasa merajut kisah romantis yang kelak akan bercokol di toko buku.

Seperti kata Sapardi. Penyair tua itu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sederhana. Ya! Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Tidak menggebu. Segala yang menggebu acapkali membuahkan sesal. Atau genangan airmata pada bantal.

Aku juga tidak berharap pada cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Ya, bukan sesaat. Kalau boleh kusimpulkan dan tidak terlalu muluk, bukan sesaat adalah selamanya. Maaf atas kelancanganku. Tapi aku ingin bersamamu sampai waktu mulai bosan menahan usiaku. Aku ingin mati di pangkuanmu. Sungguh, nona.

Aku pernah menyaksikan matahari tenggelam yang paling indah. Di pulau paling barat negeri ini. Begitu bulat. Jingga keemasan. Sayu. Memuat kesedihan sekaligus gairah. Begitu teduh. Beruntungnya, aku menemukan hal serupa pada matamu. Mata yang pernah sembap akibat kekurangajaranku. Mata yang menyipit seiring dengan otot pipimu yang tertarik ketika kamu terbahak. Mata yang mengintimidasi ketika mulai kusulut lagi batang rokok selanjutnya.

Aku tahu. Itu sembrono. Maafkan aku yang dilahirkan sebagai makhluk yang tak mengenal adab ini. Kamu terlalu istimewa. Setidaknya dari kacamataku. Kamu adalah nektar. Aku adalah lebah kecil pemalas yang mudah meregang nyawa bahkan oleh telapak tangan bayi sekalipun. Kamu adalah andromeda. Primadona di langit malam. Aku hanyalah bintang mungil tidak bernama. Begitu berdebu. Yang siap jatuh kapan saja lantas menjadi sebutir pasir sesaat setelah menyentuh bumi.  

Aku punuk yang merindukan bulan. Bukan. Sudah tidak relevan untuk zaman sekarang.

Aku adalah duri yang merindukan mawar. Kurang ajar betul. Tidak mawas diri.

Tapi yang perlu kamu ingat. Bukan mawar jika tidak berduri.

Aku cinta kamu. Tapi, jika kamu tanyakan apa itu “cinta”, tolong jangan malas untuk membaca ulang kalimat pembuka tulisan ini.

Aku hanya mencintaimu. Itu saja. Dengan cinta yang sederhana. Tentu saja. Bukan cinta yang sesaat. Itu pasti.

Untuk pertama-kalinya akan kusisipkan namamu di antara jutaan huruf yang pernah kurangkai; sudikah kamu menjadi istriku, Firda?


Selatan Jakarta, September 2017

Popular posts from this blog

Sapardi

Surat untuk Firda (dan Alka)

Melesat Seperti Roket