Posts

Showing posts from September, 2017

Bukan Monolog, karena Aku Bertanya

Aku tidak paham cinta. Jadi, jangan pernah tanyakan itu. Aku bersamamu karena suatu alasan. Alasan yang tidak akan pernah kita temukan jawabnya. Anggap saja, ada temali kasat mata yang mengatur laku kita. Digerakkan oleh sesuatu yang kasat pula. Sebuah kekuatan besar yang otoriter sehingga kita tidak berdaya untuk melawan. Mungkin juga akibat turut campur tangan alam semesta. Mempertemukan kita. Kemudian mengharuskan kita untuk bersama. Sesederhana itu. Anggap saja begitu. Aku bukan Rama yang rela melawan raja Alengka bernama Rahwana untuk mengais hati Sinta. Aku juga tidak seperti Arjuna yang membuat Drupadi menjadi setengah sinting karena cinta. Aku juga bukan sejoli rekaan Shakespeare yang rela mati demi bersama. Aku juga bukan Paris yang rela mati untuk Helena. Aku juga bukan Lancelot yang memendam cinta pada Guinevere hingga kematian menjemputnya. Tidak. Aku seperti lelaki kebanyakan; mempunyai kisah cinta biasa di masa lalu. Yang indah atau getir. Itu tidak ja...

Tapi Tidak dengan Mereka

Image
Sumber Gambar : thelookofsilence.com Aku tidak mengalami peristiwa berdarah itu. Juga sebagian besar dari mereka. Aku dipaksa menyaksikan komidi gambar memomokkan itu. Juga sebagian besar dari mereka. Aku dipatri dogma sesat oleh jenderal yang hobi tersenyum itu. Juga sebagian besar dari mereka. Aku hidup dalam paranoia atas lambang dua perkakas tani. Juga sebagian besar dari mereka. Aku merayakan tumbangnya pohon cendana. Juga sebagian besar dari mereka. Lalu. Aku membaca apa yang sebelumnya sumbang. Aku mempelajari segala yang sebelumnya tabu. Aku merdeka dari kutukan bolor, congek, gagu, dan dari kegoblokan. Tapi tidak dengan sebagian besar dari mereka. Jakarta, September 2017

Pulanglah, Nak

Image
Wiji Thukul Hilang Sejak 1998 Pulanglah, nak. Tidak kau rindu kumandang adzan yang bangunkan dengkurmu? Tidak kau rindu gemerisik dedaunan kering yang diseka bapak di jerambah? Tidak kau rindu gangsi asap dapur dari petanakan emakmu? Pulanglah, nak. Pulanglah, nak. Tidak kau bengap oleh deru kendaraan yang menyambut pagimu? Tidak kau takut tersungkur dengan langkah-langkah yang cepat itu? Tidak kau iba pada dadamu yang bernas akan tuba perkotaan? Pulanglah, nak. Pulanglah, nak. Bapak dan emak semakin bangkot. Tidak kami merindu surga tanpa bahagiamu. Tidak ada lahap nasi kami mamah tanpa bersamamu. Pulanglah, nak. Meski tinggal nama. Meski tanpa nyawa. Jakarta, September 2017